Senin, 3 Juni 2013. (11 Minggu Sebelum Pengukuhan)
KAITAN FAKTOR KELUARGA DENGAN PROFESIONALITAS
Buku Catatan Akhir Kuliah: Praja Penulis Buku karya M. Arafat Imam G Dapatkan di Google Play Store |
“Justru anak yang paling bandel atau sering-sakit-sakitan pada saat kecilnya itulah calon orang besar kelak, karena ternyata syaitan lebih suka mengoda dirinya ketimbang anak-anak yang lainnya. Syaitan takut kalau dewasanya kelak anak tersebut dapat mengalahkan pihaknya” (Penulis)
ARTI NAMA DAN TOKOH BESAR DIBALIKNYA
Penulis yang bernama lengkap Muhammad Arafat Imam Ghozali ini memang membawa empat nama tokoh terkemuka didunia Islam dalam hal kepemimpinan, yang pertama adalah sosok manusia teladan utama seluruh umat yaitu Nabi Muhammad Saw, yang kedua adalah nama dari presiden fenomenal Palestina yang cerdas dan dengan gagah berani menentang Zionisme Israel terhadap negaranya yaitu Yasser Arafat, yang ketiga nama Imam adalah seorang pemimpin yang setiap lima waktu sehari kita temui dalam setiap shalat wajib kita dan keempat nama Ghozali adalah dari Imam Al-Ghazali yaitu seorang tokoh intelektual Islam terkemuka dibidang ilmu tasawuf/sufinistik, filsuf islam, ahli fikih, kritikus teologi dan beliaulah yang menulis kitab Ihya Ulumuddin, kimia kebahagiaan, neraca kebenaran, ibadah perspektif sufinistik dll hingga keseluruhan 467 kitab dan berisi kajian dengan ragam pendekatan: ringan ataupun tajam mendalam, atas berbagai topik yang penting (Sumber: Penelitian Dr. Abd Ar Rahman Badawi) dimana kepemimpinan dirinya ada pada buah pemikirannya.
Lalu jika dipikir-pikir nama itu hakikatnya adalah doa dari orang tua kepada anaknya, berarti orang tua penulis memberikan nama lengkap penulis seperti keempat tokoh pemimpin itu dengan harapan kelak mampu sesuai dengan tokoh pada masing-masing namanya. Sampai kemudian karena faktor penulis memiliki nama Imam Ghozali inilah yang kemudian membuat penulis mulai mempelajari berbagai kitab Imam Al-Ghazali hingga kini penulis memiliki kerangka pemikiran yang sedikitnya serupa dengan beliau, yaitu senantiasa berinduk pemikiran tasawuf dijalan sufinistik. Kerangka pemikiran itulah yang akhirnya berhasil menelurkan keempat buku pertama penulis semasa pendidikan di lembaga pendidikannya dan insya Allah juga pada buku-buku karya penulis selanjutnya.
Hingga pada saat penulis tanya ke ayah penulis tentang arti sebenarnya nama lengkap penulis itu, beliau justru menjawab bahwa nama Muhammad itu di ambil dari nama ayah penulis yaitu Muhammad Manshur, lalu nama Arafat karena pada saat penulis lahir kakek H. Muh Salim Ghozali sedang wukuf di padang Arafah, lalu nama Imam diambil dari nama kakek dari ibu yang bernama Imam Sukenan, dan nama Ghozali diambil dari nama Kakek dari ayah yang bernama H. Muh Salim Ghozali. Perihal panjangnya nama penulis adalah supaya penulis menjadi anak terakhir yaitu anak keempat dari empat bersaudara di keluarga penulis, jadi dimasukanlah semua nama orang tua penulis (agar tidak ada lagi nama pendahulu yang tersisa, hihi..).
Namun pembelajaran bagi pembaca disini adalah karena orang awam tentu tidak akan menyinggung perkara maksud penamaan dibalik nama seseorang namun melihat siapa namanya dan mensinkronisasikan dengan siapa tokoh pendahulunya. Seperti ibarat pemilik nama Muhammad memiliki pandangan yang mulia dihadapan orang lain sehingga jika seseorang melihat pemilik nama Muhammad berbuat kesalahan maka dirinya akan lebih disinggung ketimbang nama lain seperti permisalan Adi atau Didi yang berbuat kesalahan yang sama.
Jadi jika pembaca termasuk memiliki nama yang berbobot (seperti nama tokoh besar atau nama perihal kebaikan, contoh: Arif, Budi dll) maka jangan terlalu memikirkan asal-muasal pemberian namanya saja namun berusaha menjadi seperti apa yang terkandung didalam namanya. Jika nama itu adalah nama tokoh seperti Arafat maka jadilah seberani Mantan Presiden Palestina Yasser Arafat dan jika nama seperti Arif maka jadilah seseorang yang senantiasa bersikap arif bijaksana. Ibarat mandi, maka lakukanlah sampai tuntas jangan keluar dari kamar mandi ketika busa sampo masih menempel dirambut, karena akan dianggap aneh oleh orang lain.
Hal itu sesuai dengan sunnah Rasul Saw, bahwa memberi nama kepada anak haruslah nama-nama yang baik, karena nama yang diberikan kepada seorang ketika mereka dilahirkan didunia akan terus terbawa pada dirinya sampai di panggil diakhirat yang kekal kelak. Jadi kalau sedang merencanakan membuat nama seorang anak yang hendak dilahirkan semestinya pikirkan saja nama itu seperti sebuah doa dari orang tua kepada anak, jadi bukan sekedar untuk keren-kerenan ataupun mau membuat nama yang dapat membuat heboh kerabat dari orang tuanya.
Sesuai dengan pengalaman pribadi penulis, mempunyai nama panjang dan menyangkut tokoh-tokoh ternama Islam itu memang berat, tetapi dibalik itu belakangan penulis merasa seperti dijaga oleh nama penulis sendiri. Maka jika penulis hendak melakukan perbuatan yang dilarang penulis selalu berpikir berulang-ulang, karena saat perbuatan tercela itu penulis lakukan maka yang dicela selain nama penulis juga nama tokoh yang ada dalam nama penulis. Atau barang kali jika nama seluruh pria di Indonesia memakai nama depan Muhammad dan mampu mengambil hikmahnya dalam faktor namanya maka bisa saja kasus korupsi di negeri ini akan merendah, Amin.
KORELASI EKUIVALENSI ANTARA ANAK, NAKAL, ORANG TUA DAN AGAMA
Siapa sangka seorang anak yang masa kecilnya sering dikatakan bandel dan nakal bisa menjadi seorang yang justru saat dewasanya mampu bermanfaat kepada khalayaknya orang banyak? Menjadi tidak disangka hal itu terjadi pada jalan kehidupan penulis.
Sekiranya penulis sebagai pihak orang ketiga maka pastinya akan terkejut pula jika mendengar bagaimana tapak jejak perjalanan spiritual orang-orang yang memiliki kisah yang sama. Bahkan penulispun seakan sampai sekarang tidak mempercayai bahwa melalui otak seorang manusia yang sangat malas belajar disaat sebelum masuk IPDN justru telah berhasil menghasilkan empat buku hanya dalam kurun waktu tiga setengah tahun berjibaku dengan kehidupan yang serba dituntut profesionalitas dan tingkat disiplin yang ketat. Menjadi seorang birokrat, penulis sekaligus pembicara sungguh perkara yang berat, jika tidak bisa memanajemen waktu dengan baik maka yang jadi hanyalah seorang dengan pekerjaan banyak tetapi satupun tidak ada yang beres.
Kembali pada judul subbab diatas, pertanyaannya adalah mengapa ada anak yang selagi kecil baik dan juga anak yang selagi kecil justru nakal? Apakah semata-mata kesalahan hanya pada pihak dari bapaknya? Ibunya? Baby sister yang dibayar orang tuanya untuk merawat anaknya? Atau faktor iklim, kultur geografis dan faktor alam lain? Padahal umur mereka masihlah sangat dini, ibarat air maka sesungguhnya meskipun tercemar kotoran pastinya masih sedikit dan tetaplah air itu masih dapat dikatakan masih bening.
Menjawab hal itu tentu bukan berhubungan dengan fisik anak kecil itu semata namun hakikatnya ada pada jiwanya. Namun tentu anak kecil tidak bisa mengerti gelojak jiwanya seperti orang dewasa mengerti gejolak jiwa mereka, maka menjadi sebuah keniscayaan bahwa ada hal lain diluar jiwanya yang sejatinya selalu mengganggu jiwa anak kecil tersebut. Dialah makhluk ciptaan Allah Swt selain manusia dan malaikat maka dia itulah makhluk berupa jin atau setan, makhluk metafisika yang wujudnya secara umum tidak diketahui secara kasat mata (namun juga tidak berbentuk setan yang selalu digambar-gambarkan oleh pendongeng seperti kuntilanak, vampire, pocong dll)
Mengenai mengapa setan suka mengganggu setiap manusia adalah karena setan sombong dan mengingkari ketentuan Allah yang telah menciptakannya untuk tunduk kepada manusia. Sedang mengenai mengapa setan suja mengganggu jiwa seorang anak kecil adalah karena masa usia dini seseorang akan menentukan masa dewasanya, artinya jika masa kecilnyanya sudah ‘sangat nakal’ maka jikapun dirinya mengalami perubahan kearah kebaikan maka hasilnya hanyalah menjadi nakal (tanpa ‘sangat’) selain itu dirinya masih cenderung tetap ‘sangat nakal’ karena sangatlah susah mengubah karakter seseorang tanpa didasari pemahaman dan kesadaran yang kuat. Ingatlah seperti halnya Stephen Covey (pakar manajemen dan psikologi dunia Barat) pernah mengatakan didalam bukunya 7 Habbits to Effective Peoples bahwa “mengubah karakter dibutuhkan kebiasaan”, sedangkan dalam keadaan seseorang tidak tersadar dengan daya perubahan positif yang kuat pada kebiasaannya maka orang itu akan akan tetap pada kebiasaannya yang lama dalam hal ini maka banyak fenomena yang memperlihatkan disekeliling kita ada seseorang yang berkepribadian baik namun karakternya buruk.
Namun fenomena yang berkembang adalah hanya beberapa kasus anak kecil saja yang setan berfokus untuk mengganggu jiwanya, sedangkan pada beberapa kasus anak lain seakan setan tidak terlalu ingin menggodanya. Adalah alasan tersebut diatas tentu ada beberapa alasannya, antara lain sebagai berikut:
- Setan lebih suka mengganggu anak yang memiliki nama hebat/terbaik ketimbang anak dengan nama biasa-biasa saja (tanpa makna)
- Setan lebih suka mengganggu anak yang diprediksi bakal menjadi tokoh besar saat dewasanya, apalagi menjadi tokoh ulama besar. Hal ini biasanya didasarkan pada hal seperti faktor silsilah keluarganya.
Keterangan: Nyatanya setan tidaklah memiliki kekuatan/keahlian sehebat seperti yang diceritakan di film-film fiksi seperti setan mampu mengetahui takdir manusia sehingga tahu mana anak yang benar-benar calon tokoh besar dan mana yang bukan. Dalam beberapa kutipan Quran dan Hadist dapat dipahami setan hanya mengganggu manusia didalam celah-celah yang memungkinkan dimasukinya, selebihnya kehendak manusia lebih mempengaruhi dirinya sendiri untuk tetap berjalan dijalan yang lurus ataukah terjerumus didalam jurangnya yang kelam.
Pada poin ‘1’ diatas bukan berarti sebagai orangtua yang memberikan nama-nama hebat/terbaik kepada anaknya berarti telah mendurhakai anaknya atau pada poin ‘2’ membuat orangtua dari keluarga ternama salah bila melahirkan seorang anak tetapi justru hal itu memang sudah semestinya dilakukan oleh orang-tuanya. Namun yang patut menjadi perhatian adalah semakin baik nama dan silsilah keluarganya maka si anak harus lebih mendapat pendidikan yang terbaik untuk menghindari sang anak mendapatkan paham yang salah sedari usia dini yang berlanjut hingga usianya dewasa kelak dimana pendidikan yang terbaik sepanjang sejarah kemanusiaan terbukti adalah pendidikan agama.
Seperti halnya beberapa kutipan favorit atas pemahaman favorit penulis mengenai hal ini dapat dilogikakan dengan menggunakan neraca kebenaran ekuivalensi (pertautan) sebagai berikut:
1.Premis 1 (Kutipan awal):
“Tidaklah terlampau ‘buruk’ seseorang yang nakal, tetapi menjadi ‘salah’ adalah jika saat berbuat kenakalan tetapi dirinya tidak memahami bahwa dirinya sedang berbuat kenakalan. Dimana asumsi ‘buruk’ adalah karena melanggar nilai moral kebaikan, sedangkan asumsi ‘salah’ adalah karena melanggar nilai logika kebenaran”.
2.Premis 2 (sebagai pembantu penalaran logika):
Perbuatan buruk insya Allah ‘mudah’ menjadi perbuatan baik jika seseorang ‘menyadarinya’ dengan sungguh-sungguh, sedangkan perbuatan salah akan lebih ‘sukar’ menjadi perbuatan benar jika seseorang tidak memahaminya dengan sungguh-sungguh.
3.Premis 3 (sebagai pembantu penalaran logika):
Perkara ‘menyadari’ (dari kata dasar sadar) tentu lebih mudah ketimbang perkara ‘memahami’ (dari kata dasar paham) yang lebih sukar karena cakupannya yang lebih kompleks.
Ibaratnya adalah negara dibentuk oleh suatu paham tertentu yang merasuki seluruh sendi POLEKSOSBUDHANKAM suatu bangsa sedangkan untuk seseorang negarawan melakukan amalan cukup dengan kesadaran pribadinya. Tentu dalam konteks negara akan lebih kompleks daripada konteks negarawan.
4.Premis 4 (sebagai konklusi umum):
Seorang yang nakal karena moralnya rendah tentu buruk tetapi lebih mudah disembuhkan dengan penyembuhnya berupa kesadaran.
Seorang yang nakal karena logikanya rendah tentu salah dan lebih sukar disembuhkan kecuali dengan penyembuhnya berupa pemahaman.
5.Premis 4 (sebagai konklusi khusus):
Obat kesadaran dan pemahaman hanya ada dalam agama yang mengajarkan moralitas (yakni ilmu antara hal yang baik dan yang buruk) dan logika (yakni ilmu antara hal yang benar dan yang salah) yang saling bertautan sekaligus dan sampai saat ini penulis hanya menemukan obat seperti itu adalah dalam Islam sebagai agama dan ajaran-Nya. Waallahualam.
***
Dari pembahasan diatas ternyata kenakalan hanya bisa diobati dengan agama, jadi sesekali tidaklah mengapa seseorang nakal (namanya juga manusia biasa) asal tetap didalam rel pemahaman agama. Serta tentunya judul subbab ini bisa menjadi instropeksi tersendiri bagi masing-masing personal dari kita. Tugas awal kita tidak lain segera mengintropeksi diri kita masing-masing terlebih dahulu sebelum merambah dunia yang penuh tuntutan atas azas profesionalitas-nya.
FALSAFAH WANITA ADALAH TIANGNYA NEGARA DAN CARA MENDAPATKAN TIANG TERSEBUT
Istilah “Wanita adalah tiangnya negara” disabdakan oleh Muhammad Saw lalu ungkapan “Dibalik kesuksesan seorang lelaki pasti ada dua wanita yang mendukungnya, yaitu istri dan ibu kandungnya”, adalah kata-kata Umar bin Khattab ra yang mansyur sepanjang masa. Adapun diteruskan oleh ulama mansyur kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi yaitu “Perempuan adalah ibu, seorang ibu ibarat sekolah. Apabila kamu siapkan dengan baik. Berarti kamu menyiapkan suatu bangsa yang harum namanya”.
Sehingga dari berbagai kutipan diatas dapat penulis konklusikan sebagai berikut, “Wanita sebagai istri yang baik mampu mensukseskan pekerjaan suaminya dan wanita sebagai ibu yang baik mampu mensukseskan nasib anak-anaknya kelak. Keduanya itulah yang menjadi sebuah tiang dari cikal-bakal bangunan bangsa dan negara yang kokoh nan harum namanya”.
Jadi sesungguhnya jikalau bukan karena ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang selalu mengajarkan dan mengawasi bagaimana pentingnya pendidikan berkarakter kepada penulis sedari kecil hingga dewasa selama 17 tahun sebagai pendidikan primer maka penulis tidak tahu bagaimana kiranya nasib penulis saat ini. Serta jikapun penulis kedepan sukses menjadi seorang intelektual sehingga mampu membedakan antara mana yang benar dan yang salah kepada seluruh bangsa maka itupun tidak akan terjadi manakala penulis tidak melalui tahapan pendidikan berkarakter yang berasal dari ibu kandung penulis.
Sehingga tentu secara prinsip logika kebenaran akan benar kiranya bahwa peran utama seorang wanita sesungguhnya adalah men-support pria yang menjadi suami dan anak lelakinya dan dengan begitu si pria-lah yang harus bekerja bersungguh-sungguh untuk pemenuhan nafkah keluarga dan kemashlahatan bangsa-negaranya.
Sedangkan jika seorang wanita menjadi seorang wanita karir sesungguhnya (masih berdasarkan kelanjutan dari prinsip logika kebenaran diatas) adalah perkara yang ‘makruh’, artinya jika dilakukan tidak berdosa tetapi jika dilakukan dengan tambahan catatan menjadi istri dan ibu yang baik maka akan berpahala. Perkara tersebut cukup beralasan karena kecenderungannya seorang wanita yang sudah berkecimpung didunia profesional harus perlu selalu tekun bekerja didalam bidangnya, pagi-siang-malam terus memikirkan pekerjaannya sehingga terbengkalai-lah urusan suami dan keluarganya. Kalau sudah begitu maka tiang akan keropos dan hancurlah tatanan bangunan bangsa dan negara yang seharusnya kokoh.
Hanya saja karena faktor wanita didalam kehidupan seorang lelaki itukan ada dua, maka tugas dari seorang pria (apalagi mahasiswa) selanjutnya adalah mencari seorang wanita yang akan dijadikan seorang istri. Sepengalaman penulis yang pernah menjadi anak nakal serta gonta-ganti pacar selagi masa remaja (he..he.. Meskipun demikian sebelum menulis buku ini penulis telah sungguh-sungguh bertaubat), maka berikut akan penulis paparkan hal-hal yang patut dicermati dari pemilihan bakal calon istri yang baik:
Wanita yang harus dihindari sebagai calon istri dan ibu:
1.Sebatas cantik atau seksi semata, tanpa berilmu dan/atau bermoral.
Karena kalaupun dirinya mau menjadi ibu rumah tangga yang baikpun pastinya kapasitas dirinya tidak akan memadai guna mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai moral. Kecenderungan wanita seperti ini akan seperti ibu-ibu pengangguran tukang arisan dan jika dalam keadaan akut tingkah-tingkahnya justru akan menjadi momok mengesalkan bagi suami dan anak-anaknya.
Senada dengan hal diatas berlaku juga pada wanita yang tanpa berilmu dan/atau bermoral walaupun keturunan anak konglomerat (keluarga berjabatan/ kaya raya) namun diketahui bahwa moral keluarganyapun ternyata rendah.
2.Wanita yang nilai-nilai akademisi pengajarannya dan Intelektual Quotient-nya bagus sekali, tetapi perihal agamanya sangat jauh jeblok-nya (baca: rendahnya).
Karena jika diteruskan sampai kepelaminan maka si istri akan merasa sangat benar dan tanpa pengetahuan agama akan mendominasi si suami, jadilah istrinya menjadi ‘wanita karir’ dan suami menjadi ‘suami rumah tangga’. Hal ini salah karena secara psikologis, wanita tidak diciptakan Tuhan untuk pekerjaan yang terlalu berat dengan baik (dalam artian tidak sebagai sebagaimana pria bisa melakukannya) dan pria tidak diciptakan Tuhan untuk pekerjaan mengurus keluarga dengan baik (dalam artian tidak sebagai sebagaimana wanita bisa melakukannya). (Perhatikan QS.4:34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...”)
3.Wanita yang suka berganti-ganti pacar dan bahkan dalam keadaan akut suka bangga jika telah memiliki daftar mantan pacar yang lebih banyak dari wanita serupa lain.
Bisa-bisa saat didekati seorang pria sebenarnya dirinya juga sedang dekat dengan pria lain, bahkan dalam keadaan akut kendati sudah menikah dengan seseorang tetapi masih membuka diri bagi pria lain.
Namun demikian jika saat dikenal dirinya sudah sepenuhnya bertaubat dan benar-benar berubah dengan bukti telah dilakukannya pembuktian diri bentuk perubahannya itu (seperti permisalan dari agresif menjadi pendiam dan pemalu, dari sering berpakaian terbuka menjadi berpakaian berhijab dll) maka secara bijak hal buruk dari sikap masa lalunya tidaklah perlu dikhawatirkan kembali.
4.Wanita yang suka melecehkan dirinya sendiri,
yang secara praktiknya dapat dilihat sebagai berikut:
- Tertawa terbahak-bahak atau berbuat konyol lain yang dikiranya sikap yang dilakukannya adalah sikap yang sama dengan apa yang dilakukan lelaki tanpa adanya pemahaman bahwa ada beda kodrat diantara perbedaan gender tersebut
- Hyperaktif dan/atau agresif, yaitu tidak bisa diam secara lisan dan/atau diam secara sikap
- Berpakaian yang terbuka, ketat sehingga menarik perhatian lelaki. (Anehnya wanita seperti ini adalah ketika ada pria yang menggodanya atau terus menguntitnya, wanita tersebut justru tersinggung dan terkadang berteriak marah-marah)
- Dalam setiap event terbuka yang melibatkan interaksi pria-wanita selalu berdandan dengan dandanan extraordinary supaya terlihat menarik oleh rekan wanitanya yang lain dan para pria. Dimana rasa ingin terlihat menarik tersebut adalah sikap yang dilahirkan dari rasa sombong/tinggi hati
- Suka apabila dirinya dikatakan oleh orang lain sebagai tukang ngerumpi, karena dirinya sadar bahwa dirinya sedang melakukan hal yang tidak baik secara moral
- Suka nimbrung ditongkrongan lelaki bahkan dalam keadaan akut dirinya tidak tersinggung sama sekali jika omongan dalam tongkrongan itu berubah dan menjurus keperihal seks.
5.Wanita yang berkeyakinan agama berbeda dengan agama si pria.
Kendati seluruh hidupnya dipenuhi rasa kasih, sayang dan cinta namun percayalah kehidupan berrumah tangga yang dihasilkannya tidaklah semanis jika seseorang menikah dengan wanita yang berkeyakinan sama.
Sedangkan berikut ini adalah jajaran wanita calon istri dan ibu yang harus diprioritaskan:
1.Wanita dengan pemahamannya yang baik tentang agamanya
Sesungguhnya Rasul Saw bersabda dengan dua hadist shahih riwayat Muslim, “Dunia adalah tempat kesenangan dan sebaik-baiknya kesenangan dunia adalah wanita yang salehah” dan “Wanita itu dinikahi karena empat hal: Karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan agamanya. Dapatkan kemujuran dengan menikahi wanita karena agamanya, maka kau akan mendapatkan keberkahan”. Yang terakhir itu sering disalah artikan oleh orang awam, jadi bukan berarti pria menikahi wanita karena memiliki keempatnya tetapi keempat hal itu yang menjadi alasan dari pria hendak memilih wanita calon istrinya dan dari keempat faktor itu maka prioritaskanlah faktor agamanya. Jadi meskipun si wanita tidak kaya dan cantik namun agamanya baik maka itu yang lebih membawa keberkahan didalam keluarga untuk dijadikan istri.
Selain faktor agama secara umum maka secara khusus adalah wanita yang taat beragama dengan sebenar-benarnya yaitu yang akidahnya, amalannya, ibadahnya, penjagaan kehormatan dirinya dan tingkat pendidikan-nya baik. Tentu tidak bisa dipungkiri banyak juga wanita dengan suatu agama tetapi sama sekali tidak menunjukkan dirinya seorang wanita yang taat beragama dengan sebenar-benarnya (perhatikan sabda Rasul diatas adalah wanita shalehah yang berarti tidak cukup sekedar beragama namun wanita yang taat dengan sebenar-benarnya taat). Definisi wanita shalehah juga barang tentu tidak termasuk dalam satupun daftar wanita yang patut dihindari seperti yang penulis tulis diatas.
Ada sebuah premis yang salah dikalangan masyarakat awam bahwa dikiranya seseorang yang alim dan beragama sangat taat jika dijadikan pendamping hidup maka orang tersebut dikatakan sebagai teman tidur yang tidak hangat. Padahal didalam Al-Quran Surat Al Baqarah ayat 223 telah dijelaskan sebagai berikut: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”
Lalu perhatikan juga kewajiban seorang lelaki yang taat beragama tidak boleh menatap dan bersentuhan dengan wanita yang bukan muhrimnya dan begitu juga sebaliknya maka dalam hasrat kebutuhan psikologis dan biologis sekualitas personalnya mau tidak mau akan 100% dicurahkan sepenuhnya kepada pasangan halalnya. Apalagi ternyata setiap malam jumat disunnahkan untuk melakukan hubungan suami-istri. Maka dari faktor semua itulah yang dijamin akan menghangatkan hubungan suami-istri yang alim.
2.Wanita yang dikenal dengan konsep ta’aruf
Kesalahan dari konsep berpacaran selain menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, sesungguhnya konsep pacaran juga salah dari dari kesalahan metode berkenalan (ber-ta’aruf) dengan si pacar yaitu manakala seorang pria yang berusaha mengenal wanita (atau sebaliknya) secara internal mereka berdua saja, atau paling maksimal melibatkan teman-teman sejawatnya dari kedua belah pihak. Kalau begitu ceritanya maka jelas saja yang ditampilkan keduanya adalah perihal yang baik-baik sedangkan yang buruknya terus menerus disimpan. Jika hal ini terus dilanjutkan hingga kepelaminan maka keduanya akan merasa kecewa bahwa yang diharapkan dari masing-masing pasangan ternyata berbeda dengan yang ditampilkannya dahulu saat masa pacaran. Mereka berharap metode penjodohan oleh orangtua seperti zaman Siti Nurbaya tidak terulang justru kekecewaan didapatkan seumur hidupnya.
Maka kembali beranjak kejalan agama, dikenallah metode ta’aruf dalam pengenalan antara seorang lelaki dengan wanita yang hendak menikah. Anehnya banyak orang-orang yang berduyun-duyun menjadi penafsir Al-Quran atas pemikirannya sendiri yang kembali mengatakan bahwa konsep ta’aruf sama seperti pacaran namun tanpa adanya aktivitas saling berduaan yang berujung dosa, jika demikian tentu sama saja dengan cara pekenalan konsep pacaran yang mana pasti yang disampaikan hanya yang baiknya sementara buruknya ditutupi. Maka metode ta’aruf dapat penulis jelaskan dengan dua cara sebagai berikut:
Pertama, wanita yang belum dikenal jelas sifatnya namun kita sangat mengenal orang-tuanya adalah dari orang yang beragama dan bermoral baik serta berpendidikan tinggi. Karena seburuk-buruknya sikap seorang anak setidaknya istilah “Like father like son” dan istilah “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya” tetaplah berlaku.
Kedua, wanita yang dikenal melalui perantara ulama agamanya, dan ulama tersebut memang mengenal masing-masing pria dan wanita tersebut karena memiliki berbagai informasi yang benar-benar obyektif dari handai-taulan-nya (kerabat, koneksi, atau rekanannya). Hal ini bukan semata ulama saling mengenalkan nama keduanya berserta penyampaian hal-hal yang diketahui ulama kepada keduanya dan setelahnya tidak ada bentuk pengenalan lain. Namun diantara keduanya saling memberikan daftar riwayat hidup atau curriculum vitae-nya masing-masing kepada ulama guna pertukaran data tersebut diantara keduanya. Dimana data yang dimaksud adalah data yang secara lengkap mendeskripsikan tentang dirinya, bahkan jika bisa juga dijelaskan segala kelebihan dan kelemahan pihaknya didalam lembaran-lembaran kertas, hal ini mudah dilakukan karena keduanya tidak saling kenal sebelumnya sehingga tidak ada rasa malu kendati kemudian salah satu dari keduanya membatalkan perkenalannya karena ternyata dirinya merasa tidak cocok dengan yang dikenalkannya. Namun kecenderungannya masing-masing pihak akan menganggap kekurangan tersebut sebagai sesuatu yang wajar ada didalam setiap orang sehingga mampu menerima kekurangan masing-masing.
Hebatnya dari kedua konsep seperti diatas adalah kelak tiada kekecewaan dari kedua belah pihak pasangan, karena hubungan mereka diawali dari perkenalan oleh pihak lain yang kedudukannya lebih terhormat, yaitu orangtua atau ulama. Sehingga akan timbul rasa malu kepada keduanya jika tidak bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah warahman.
***
Jika pernyataan ‘wanita adalah tiangnya negara’ terbukti benar secara logika maka bukankan pendidikan seperti ini yang harus diajarkan kepada mahasiswa sebelum mereka hendak menikah dan mendidik istri-istrinya menjadi istri yang shalehah dan kelak menjadi ibu yang baik juga bagi anak-anaknya. Hitung-hitung termasuk sebagai pendidikan berkebangsaan atau berkenegaraan atau bisa juga menjadi lintas disiplin ilmu tersendiri (Hehe..).
***KAMU TENTU PUNYA CATATAN SENDIRI***
Kaitan Faktor Keluarga Dengan Profesionalitas (Catatan 5, 11 Minggu Sebelum Pengukuhan)
Reviewed by Santana Primaraya
on
9:28:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment