Berikut adalah sebuah essay yang awalnya saya tujukan untuk mengikuti perlombaan yang diselenggarakan oleh salah satu Fraksi Partai Politik (Parpol) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada awal tahun 2015 ini. Alhamdulillah setelah penulis mengirimkan karya ini, tidak ada pemberitahuan bahwa saya menang.
Jadi, daripada hanya nganggur begitu saja, saya jadikan bahan blogging saja.
Judul : Menjaga Eksistensi Pancasila dari Pengaruh Globalisasi
Tema : Peran Umat Islam dalam Meningkatkan Ketahanan Nasional
Pendahuluan
Disaat tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, sebuah peristiwa penting dirayakan sebagai awal dari tatanan dunia baru. Setelah dunia terbebas dari konflik diantara dua ideologi dari dua negara adidaya, dunia mulai diharapkan menjadi tempat yang lebih baik dan damai. Setidaknya proses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah terbukti tidak hanya dikuasai oleh negara-negara maju, melainkan telah menyebar pada berbagai negara, dengan berbagai latar-belakang yang beragam, dalam suatu peradaban dunia yang padu. Peradaban dan pencerahan intelektual dari satu generasi ke generasi berikutnya itulah yang makin menunjukkan eksistensi dunia dalam memajukan pembangunan dunia. Masa yang penuh harapan baru ini kemudian dikenal sebagai era globalisasi.
Globalisasi dapat dijelaskan sebagai proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya[1]. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) pada aktivitas ekonomi dan budaya.
Namun harapan itu sirna dalam waktu yang relatif singkat. Era perang dingin yang terjadi antara ideologi kapitalis-liberal (Barat) dan sosialis-komunis (Timur) tergantikan dengan hiruk pikuk dunia yang mulai memperlihatkan ancaman tatanan dunia terhadap eksistensi ideologi negara merdeka selain dari kapitalis-liberal, sebagai satu-satunya ideologi dari pemenang era perang dingin.
Kapitalisme merupakan sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar[2]. Jika sistem kapital ini berkuasa pada era globalisasi, maka akan muncul perluasan kepemilikan modal pengusaha dari negara maju pada negara-negara dunia ketiga, sebuah istilah halus dari negara miskin. Hal tersebut tentu akan memperlebar jarak kemiskinan dan kesenjangan pendapatan antar negara maju dan miskin yang dikenal dengan istilah gini ratio.
Sedangkan liberalisme secara umum mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Ideologi ini menolak adanya pembatasan, khususnya yang berasal dari pemerintah dan agama[3].
Namun, disaat beberapa negara dunia ketiga berusaha menangkis pengaruh kapitalis-liberal, justru muncul sebuah benih lain yang diklaim sebagai gerakan anti-kapitalis-liberal bercirikan radikalisme yang dilakukan oleh orang-orang fundamentalisme. Ironisnya, mereka tampil di layar kaca dunia dengan mengatasnamakan sebagai gerakan Islam international, salah satu agama dengan penganut kedua terbesar di dunia.
Dalam kamus La Rose Besar dalam jilid 12 pada tahun 1984, kata fundamentalisme didefinisikan sebagai sikap statis yang menentang segala bentuk perkembangan[4].
Sebagai agama dengan penganut mayoritas, bangsa Indonesia tentu tidak dapat serta-merta mengelak benih itu turut masuk mendoktrinasi masyarakat fundamentalis didalam negeri. Mengingat seorang fundamentalis mendambakan tujuan yang sama, yaitu penegakan syariat Islam dalam sebuah sistem pemerintahan Islam secara seutuhnya, yang biasa diistilahkan sebagai Kekhalifahan, guna menggantikan ideologi Pancasila.
Ideologi kapitalis-liberal yang berasal dari Barat dan radikalisme-fundamentalisme yang mengatas-namakan gerakan Islam internasional inilah yang kemudian modern ini mengancam eksistensi dari Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Untuk itu, esai ini disusun guna memaparkan dua pertanyaan utama. Pertama, bagaimana memetakan pengaruh globalisasi berupa kapitalisme dan anti-kapitalisme yang mengancam eksistensi Pancasila? Kedua, bagaimana peran masyarakat Indonesia dalam meningkatkan ketahanan nasional terkhusus pada ideologi Pancasila?
Memetakan Pengaruh Globalisasi yang Mengancam Eksistensi Pancasila
Salah satu imbas terbesar globalisasi ada pada kegiatan perekonomian seperti perdagangan antar bangsa. Imbas globalisasi itu memiliki karakteristik sebagai perluasan dan penguatan dari aliran perdagangan, keuangan dan informasi internasional dalam pasar dunia yang terintegrasi. Hal ini kemudian menghasilkan sisi positif dan sisi negatif, yang juga menghasilkan pihak pemenang dan pihak yang kalah.
Pada sisi positif, globalisasi telah memberikan peningkatan rata-rata pertumbuhan ekonomi dibanyak negara yang menjadi bagian dari proses globalisasi, terutama dengan membuka perekonomian mereka yang telah meningkat dari 2,9 persen di tahun 1970 ke 3,5 persen di tahun 1980 dan 5 persen di tahun 1990 [5]. Hal ini telah melahirkan peluang pertumbuhan ekonomi baru pada negara berkembang dengan semakin lebar peluang masuknya investasi asing pada teknologi, ilmu pengetahuan dan wawasan yang telah mendukung tingginya tingkat petumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagaimana mantan Presiden Soeharto pernah mengatakan bahwa globalisasi menyediakan peluang yang baik dalam peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran bangsa[6].
Namun pada sisi negatif, globalisasi justru semakin memperlebar angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Perbandingan pertumbuhan yang terjadi antara si kaya dan si miskin semakin mencolok dari tahun ke tahun, yakni 30:1 pada tahun 1960 menjadi 60:1 pada tahun 1990 dan 74:1 pada tahun 1997. Hal ini mengakibatkan disaat beberapa ratus orang bahagia dengan status sebagai milyuner, lebih dari 1,2 milyar orang diseluruh dunia tetap bertahan dengan penghasilan US$ 1 perhari dan 0,5 milyar lain hidup dalam bencana kemiskinan. Hanya 22 persen orang dari populasi manusia di dunia yang melahap 70 persen dari total sumber daya alam dunia.
Sebagai dampak sosial kebudayaan terbesar dunia atas proses globalisasi, yang tidak bisa dielakan, adalah beberapa kelompok, sosial dan bangsa miskin merasakan termarginalkan dan tercabut dalam proses globalisasi secara perlahan namun berkesinambungan.
Sesuai ajaran Islam, guna menanggapi kedua sisi itu maka sudah seharusnya kita mendahulukan mencegah keburukan daripada mendapatkan keuntungan atau lebih baik mencegah peningkatan kesenjangan sosial antar bangsa ketimbang mendapatkan pertumbuhan ekonomi bagi beberapa negara. Sebagaimana QS.6: 10 yang menjelaskan bahwa Allah SWT melarang umatnya memaki sembahan lainnya, karena dikhawatirkan mereka akan memaki balik Allah SWT tanpa pengetahuan. Niat memaki sembahan mereka sebenarnya merupakan upaya pembelaan terhadap agama Allah SWT. Namun Allah SWT tetap melarangnya, karena jika mereka memaki Allah SWT, hal itu justru menjadi malapetaka yang lebih besar. Jadi sikap untuk tidak memaki menjadi lebih baik daripada memaki.
Seperti itu jugalah kesenjangan antara negara kapital dan negara miskin, atau antara pihak pemenang dan pihak yang kalah, dalam skenario globalisasi sudah seharusnya mulai diintropeksi oleh pihak negara-negara yang tergolong dalam negara dunia ketiga, terkhusus pada bangsa sendiri. Ketidakadilan ini tentu bersebrangan dengan bunyi sila kedua dan kelima pada Pancasila.
Era globalisasi yang terus menerus berevolusi nampaknya juga telah memberi efek negatif lain pada bangsa-bangsa yang memiliki ideologi anti-kapitalis-liberal, salah satunya adalah negara-negara Islam. Selain merupakan dampak dari proses negatif globalisasi, negara Islam menjadi bersebrangan dengan Barat dikarenakan paska runtuhnya Uni Soviet dalam perang dingin, negara Barat kembali memberi ancaman perselisihan atas peradaban baru antara Islam dan Barat. Penyerangan teroris pada peristiwa 11 September di AS setidaknya memperlihatkan sebuah skenario dari tatanan dunia baru, apakah itu berasal dari sebuah rancangan atau sebuah kelalaian, namun kejadian tersebut telah menempatkan Islam sebagai pusat perhatian baru dunia. Islam tidak dapat terhindari dari perbincangan diantara kaidah positif dan negatifnya. Terlebih akibat ulah oknum yang melakukan tindakan terorisme mengatas-namakan Islam, maka fundamentalisme dan radikalisme modern ini menjadi sesuatu yang membaur dan melekat dengan negara Islam, termasuk Indonesia meskipun tidak termasuk sebagai negara Islam.
Pemikir Perancis Roger Garaudy membagi penyebab fundamentalisme pada negara-negara Islam dalam beberapa hal. Pertama, faktor imperialisme Barat. Ini misalnya mengakibatkan timbulnya fundamentalisme di Aljazair.[7] Kedua, dekadensi moral yang terjadi di Barat, ini misalnya mengakibatkan timbulnya fundamentalisme di Iran[8]. Ketiga, fundamentalisme zionisme, yang melahirkan fundamentalisme rakyat Palestina[9]. Dan kempat, politik standart ganda AS yang menampilkan wajah ketidakadilan terhadap dunia Islam dan dunia ketiga lainnya melahirkan fundamentalisme di kebanyakan negara Islam[10].
Roger Garaudy juga menyimpulkan beberapa pembentuk dasar fundamentalisme, yaitu sebagai berikut: Pertama, statisme yaitu penolakan terhadap segala bentuk penyesuaian dan perkembangan; Kedua, kembali kepada masa lalu yaitu berafiliasi pada konservatif; dan, Ketiga: tidak toleran yaitu tertutup, fanatisme mazhab. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fundamentalisme memposisikan dirinya sebagai statisme dalam menghadapi perkembangan, konservatif dalam menghadapi kemoderatan dan fanatisme mazhab yang menghadapi netralisme. Atau dengan satu kata, fundamentalisme dapat disebut sebagai lawab dari sekularisme[11]. Dalam hal ini Garaudy menyamakan segala bentuk fundamentalisme, baik itu fundamentalisme sains[12], fundamentalisme vatikan (Katolik)[13], fundamentalisme Zionisme[14], dan termasuk didalamnya fundamentalisme Islam.
Prof. Khaled Abu Fadl, seorang pakar hukum Islam dan cendikiawan Muslim asal Kuwait yang kini mengajar di Universitas California, AS, dalam karyanya The Place of Tolerance in Islam menulis bahwa saat ini terdapat banyak kalangan kelompok Islam garis keras yang selalu menawarkan seperangkat referensi tekstual untuk mendukung orientasi teologis yang intoleran dan tindakan-tindakan eksklusif.
Menurut Abu Fadl, mereka umumnya membaca ayat-ayat Al-Quran secara literal dan a-historis, dan karena itu hasilnya pun akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang eksklusif pula. Mereka menafsirkan Al-Quran tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dan sosiologisnya. Cara ini akan mengakibatkan mereka sering melupakan inti pokok dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran itu sendiri. Selain itu, cara penafsiran seperti itu sering membuat para penafsirnya tidak dapat menangkap misi sesungguhnya dari bimbingan nilai-nilai etika dan moral untuk manusia. Selanjutnya, cara penafsiran seperti itu juga mengarah pada tindakan-tindakan simbolik yang mendorong ke arah munculnya sikap pembedaan yang keras dan kaku antara kelompok muslim dan non-Muslim yaitu antara kaum muslimin dan kaum kafir sebagai musuh.
Pemahaman seperti ini didasarkan pada monopoli terhadap klaim kebenaran yang menegaskan kebenaran yang lain. Namun, sebagaimana ditegaskan pakar politik Islam terkenal Abdul Azis Sachedina, tafsir yang liberal dan eksklusif seperti itu pada dasarnya tidak mempunyai basis dalam Al-Quran, tetapi banyak digunakan penguasa maupun elit agama untuk menjustifikasi tujuan politisnya.
Jamak dimaklumi bahwa ideologi dinilai mengotori kebenaran pengetahuan. Hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap agama tidak lagi independen atau tunduk kepada ideologi tersebut. Orang-orang fundamentalisme sering mengecam ideologi lain, tapi tanpa mereka sadari mereka sendiri terjebak pada kunkungan ideologi. Mereka menyerukan Islam yang satu, yang benar, dan semua yang bertentangan dengannya adalah jahiliyyah dan kafir. Tanpa sadar mereka memposisikan dirinya seperti gerejawan abad pertengahan yang memonopoli segala bentuk pembacaan terhadap teks suci.
Begitupula dengan radikalisme, secara umum biasanya kaum fundamentalisme dibagi menjadi ke dalam dua bagian, radikal dan moderat. Tapi jika dikaji lebih jauh, sebenarnya apa yang disebut sebagai fundamentalisme moderat itu tidak ada. Ini dapat dilihat dari termaktub yang mereka kembangkan seperti jahiliyyah, takfir dan lain-lain yang membuktikan bahwa radikalisme adalah muatan tetap fundamentalisme dengan segala arusnya.
Pemetaan terhadap kapitalis-liberal dan fundamentalis-radikal yang muncul pada era globalisasi diatas membuka mata kita untuk lebih dapat memahami permasalahannya sebelum melangkah pada tataran pengimplementasi kebijakannya.
Peran Masyarakat dalam Menjaga Eksistensi Pancasila
Indonesia menganut ideologi Pancasila yang merupakan kumpulan nilai (value) dan visi (vision) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang dibangunnya bukanlah negara sekuler seperti halnya kapitalis-liberal maupun sosialis-komunis.
Begitu pula jika Pancasila dibedah perpasalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka kelima sila adalah pengejawantahan dari ajaran utama agama Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. Bahkan menurut almarhum Ki Bagus Hadikusumo, seorang tokoh Muhammadiyah yang juga salah seorang pendiri Republik ini, sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah pencerminan sikap tauhid yang menjadi payung bagi keempat sila lainnya.
Banyak pakar hukum Indonesia juga memberikan penegasan bahwa Islam, sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, merupakan salah satu sumber hukum nasional. Hal ini dikarenakan Islam telah menjadi sebuah hukum yang hidup di masyarakat. Namun demikian, meskipun Islam merupakan agama kaum mayoritas, para Bapak Bangsa (founding father) Republik Indonesia tidak pernah mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah Negara Islam.
Menjawab bagaimana peran masyarakat dalam mempertahankan eksistensi Pancasila adalah dengan cara menghargainya dan tidak mudah terpengaruh ideologi asing yang bertujuan untuk menggantikan ideologi Pancasila.
Menjawab Tantangan Global
Isu antara sistem kapitalis dengan pancasilais modern ini bukan berarti mengharuskan menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi yang menerima globalisasi atau tidak, tetapi bagaimana agar dapat mengelola tantangan globalisasi guna memaksimalkan aspek positifnya dan meminimalisir aspek negatifnya, dan tidak serta merta menghilangkannya meskipun dunia ini tetap didominasi oleh pihak kapital. Menjawab perkara meninggalkan keburukan lebih baik daripada mendapatkan kebaikan, sebagaimana dipaparkan diatas, maka solusi ini cukup adil bagi masyarakat dunia ketiga. Sebagaimana Yusuf Qardhawi, pemikir Islam ternama, pernah mengingatkan bahwa Islam seharusnya berada dijalan tengah, yaitu mengambil sisi positif dari globalisasi dan meninggalkan sisi negatifnya[15]. Ketidakmampuan dalam mengelola hal ini justru akan membawa kondisi bangsa menjadi terpuruk.
Bagaimana cara meminimalisir dampak negatif globalisasi adalah dengan mengimplementasikan sistem ekonomi syariah ditengah berjalannya sistem ekonomi konvensional, sistem yang mengandung riba. Sistem ekonomi syariah akan lebih mampu mendorong kegiatan perdagangan kecil di masyarakat dikarenakan tidak memakai sistem bunga, melainkan dana bagi hasil. Sehingga selagi usahanya berkembang pedagang kecil tersebut tidak langsung terbebani tagihan bunga. Selain itu pemerintah pada dunia ketiga juga harus mampu menggalakan program zakat, yakni punggutan diluar pajak yang ditujukan langsung kepada kaum fakir miskin. Dengan diberlakukan program zakat ini akan mampu mengurangi kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan miskin.
Meskipun pada kedua hal diatas adalah ajaran Islam murni, namun keduanya juga sesuai dengan bunyi pada sila kedua dan kelima Pancasila.
Kewajiban Meruwat Pluralisme
Guna merumuskan penanggulangan fundamentalis-radikal yang menginginkan dibentuknya Negara Islam seutuhnya di Indonesia, maka perlu diberikan pemahaman pluralisme pada masyarakat dan kewajiban untuk meruwatnya.
Hal itu dikarenakan pluralisme telah menjadi salah satu kenyataan kehidupan saat ini yang berkembang didalam masyarakat. Dalam teologi Islam sendiri ditegaskan, pluralisme adalah suatu sunnatullah (hukum alam), seperti halnya kaya-miskin, baik-buruk dll. Fakta adanya pluralisme dalam agama disinggung jelas dalam Al-Quran, yang antara lain menyebutkan landasan normatif bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama yaitu pada QS. 2:256. Kemajemukan manusia yang diciptakan Allah SWT juga diperintahkan untuk saling mengenal, memahami dan saling berkerja-sama yaitu pada QS. 49:13.
Sebagai sunnatullah, siapapun tentu tak bisa menghindari atau mengingkarinya dan suatu kemestian yang perlu diruwat dan diperlihara dalam batasan-batasan konstitusi masyarakat yang telah disepakati, dengan demikian diharapkan pluralisme justru akan menjadi rahmat bagi banyak orang.
Dalam pandangan Islam, seperti ditegaskan Mohammed Arkoun (2000), justru Islam akan meraih kejayaannya jika umatnya membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti saat pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Tapi pluralisme hanya bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi oleh paham kemanusiaan dan sikap toleransi, sehingga umat Islam dapat bergaul dengan siapapun. Dengan mempertahankan pluralisme, jelas Arkoun, seseorang akan tetap menjadi kritis. Itu sebabnya, kata Arkoun, Islam harus mempertahankan kebebasan bagi setiap Muslim untuk berpartisipasi dalam proses ijtihad.
Diperlukan sikap arif dan bijaksana ketika memahami agama orang lain. Usaha ini tampaknya memang sulit. Dibutuhkan sikap rendah hati yang dalam dan keterbukaan dalam menanggapi segala hal yang diterima, meski ia tidak sesuai dengan pemahaman agamanya sendiri. Sekali lagi, rasa pengertian dan saling menghargai disini amatlah dibutuhkan semua pemeluk agama untuk merealisasikan hidup damai dalam perbedaan agama.
Bilamana kita menengok sejarah ke belakang, Islam datang ke Indonesia sekitar abad ke-13 disebarkan oleh para juru dakwah, wali dan juga pedagang. Melalui kerja keras dan perjuangan yang penuh kearifan, Islam akhirnya bisa berkembang pesat ke seluruh penjuru Nusantara. Hingga pada akhirnya, Islam mampu menjadi agama mayoritas dan mengeser dominasi penganut kepercayaan Hindu dan Budha. Khusus ditanah Jawa, Islam berkembang pesat melalui dakwah Sembilan Wali, yang dikenal dengan Wali songo, yang sangat pintar dan arif dalam berdakwah. Mereka mengembangkan dakwah didasarkan pada Islam yang inklusif, penuh kearifan dan menghargai keyakinan dan menghargai keyakinan kelompok atau agama lain. Rahasia sukses mereka adalah berdakwah dengan mencontoh metode yang dikembangkan oleh Rasullullah Saw, yakni secara arif/bijaksana (bil hikmah) dengan keteladanan yang baik (wal mau’idzatun hasanah), dan dengan berdiskusi atau berdialog secara baik pula (wajadilhum billati hiya ahsan).
Indonesia memiliki semua potensi untuk merealisasikan cita-cita diatas. Pada tingkat psikologi atau watak misalnya, bangsa kita sejak dulu dikenal sebagai bangsa dengan tingkat toleransi antar pemeluk agama amat tinggi. Bahkan beberapa pengamat luar negeri menyebutkan, bangsa Indonesia sebagai model ideal bagi kerukunan antar umat beragama. Tinggal sejauhmana kemauan para elit agama dan pemerintah untuk serius mewujudkan agenda penting tersebut, dengan tetap mengedepankan kepentingan bersama, dan bukan kepentingan kelompok tertentu.
Penutup
Jika bangsa Indonesia telah memiliki ideologi Pancasila sebagai kumpulan nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan, maka kehadiran ideologi lain yang berasal dari faktor eksternal maupun internal yang mengganggu eksistensi Pancasila harus diinstropeksi kembali. Meskipun saat ini Pancasila sudah tidak murni, melainkan telah bercampur dengan ideologi demokrasi yang merupakan bentuk halus dari ideologi kapitalis-liberal, penjelasan demokrasi dan Pancasila akan membutuhkan satu esai tersendiri. Namun untuk menjaga eksistensi Pancasila dari pengaruh globalisasi diperlukan upaya-upaya tersebut diatas guna menyongsong masa depan Indonesia yang lebih adil, beradab, dan terbuka.
Sumber:
https://teorikeuangannegara.blogspot.co.id/2016/10/menjaga-eksistensi-pancasila-dari.html
***
(*) Saat makalah ini ditulis pada bulan Januari 2015, penulis adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), penulis 4 buku pengembangan diri/motivasi.
Pada dunia kepenulisan ia dikenal juga dengan nama pena Kim-Ara 김 아라.
Pada dunia kepenulisan ia dikenal juga dengan nama pena Kim-Ara 김 아라.
“Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan bagi anak bangsa”
Seluruh e-Book karya penulis dapat diperoleh di Google Play Book.
Menjaga Eksistensi Pancasila dari Pengaruh Globalisasi
Reviewed by Santana Primaraya
on
10:43:00 PM
Rating:
1 comment:
Sip, sangat membantu tugas kuliah saya gan....
Post a Comment