Catatan Akhir Kuliah 2, Senin, 13 Mei 2013. (14 Minggu Sebelum Pengukuhan)
BUKU THE ART OF MEETING DARI BERBAGAI KELUH KESAH
Buku Catatan Akhir Kuliah: Praja Penulis Buku karya M. Arafat Imam G Dapatkan di Google Play Store |
“Kebiasaan berorganisasi dimasa remaja akan membuat dirinya aktif disaat berkerjanya kelak, kebiasaan berdakwah dimasa remaja akan membuat dirinya mengetahui antara perkara baik dan buruk disaat bekerjanya kelak. Jika bisa dua-duanya dibiasakan dari masa remaja tentu akan berimbas pada lebih baiknya nasib dirinya disaat dirinya bekerja kelak”. (Penulis)
PENGALAMAN SINGKAT PADAT: 2 1/2 TAHUN AKTIF DI ORGANISASI
Sebagai penulis ilmu terapan, penulis selain harus memprioritaskan referensi pada kajian teori, namun sebisa mungkin juga memprioritaskan referensi pada faktor pengalaman dan fenomena realita modern yang berkembang. Begitupun dengan kehadiran buku Leader University dan The Art of Meeting, keduanya hadir karena faktor penulis juga merasakan adanya kesalahan dari pengalaman berbagai fenomena berorganisasi yang penulis alami ketika berada di Kampus dan penulis-pun seakan mempunyai feel tersendiri agar tidak terlalu lama menjadikan hal-hal tersebut menjadi sebuah hal yang dilumrahkan dengan cara sebisa mungkin mencoba memperbaiki hal-hal tersebut dengan cara sebisanya penulis. Maka dari pemikiran kritis terhadap kebutuhan akan sesuatu yang lebih baik itulah yang membuat penulis termotivasi untuk berusaha menempa diri dengan mempelajari pendapat para pakar didalam buku literatur yang digunakan untuk referensi terkait, yang dalam hal ini adalah tentang kepemimpinan, manajemerial, komunikasi dan seni penyelenggaraan rapat.
Saat ketika penulis bergabung dengan organisasi Rohis IPDN semenjak tingkat pertama dan sampai dengan penulis memulai menulis buku Leader University maka penulis saat itu sudah kurang lebih dua setengah tahun berorganisasi yang kala itu dipuncaki ketika penulis ditunjuk untuk menjadi pelaksana harian Kepala Kantor Agama WWP (Fungsionaris Kesenatan Mahasiswa di IPDN). Setelah selama sebulan disibukkan menjadi fungsionaris hingga akhirnya penulis mengundurkan diri dan pada saat itu juga penulis memutuskan untuk sepenuhnya menulis buku yang tentunya disamping tugas utama yaitu menjalani proses kuliah di kampus IPDN.
Bisa dikatakan bahwa pengalaman berorganisasilah yang mem-bimbing penulis masuk kedalam track kepenulisan ini. Berorganisasi dimasa perkuliahan bisa dipergunakan untuk proses pembelajaran trial-error dalam membuat kebijakan, percis seperti ungkapan didalam dunia militer “Lebih baik mandi keringat saat latihan daripada mandi darah saat berperang”. Sehingga tidak jarang karena perasaan mampu berbuat kreasi apapun saat masa perkuliahan membuat penulis yang pada masa SMA sangatlah malas dan bodoh justru menjadi ‘gila’ berinovatif, mulai dari membuat hal yang sangat standar hingga membuat hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang pada umumnya. Bahkan sanking ‘gila’-nya dalam berinovasi, penulis pernah membuat konsep keseluruhan prosedur standar operasional (SOP) media penerbitan IPDN Press yang penulis saat itu ajukan ke Prof. Sadu (selaku Wakil Rektor IPDN dan pemprakarsa berdirinya penerbitan tersebut). Meskipun pada akhirnya SOP tersebut tidak dipergunakan sama sekali (karena pihak IPDN Press sudah membuat tim ahli untuk mendesain SOP-nya sendiri) namun setidaknya Prof. Sadu sangat memberi apresiasi terhadap konsep penerbitan yang penulis buat. Beliau mengungkapkan kira-kira seperti ini, “Kamu diumur segini sudah mampu membuat tulisan dan juga mampu membuat konsep-konsep seperti konsep penerbitan ini, sedangkan bapak saja dahulu tidak seperti itu. Semoga kedepan kamu bisa menjadi konseptor yang handal”. Sekali lagi, hal-hal seperti itu niscaya tidak akan bisa penulis lakukan apabila selama kurang lebih dua setengah tahun berorganisasi penulis tidak pernah berinovasi dalam beroganisasi dan tidak pernah merasakan berbagai keluh kesah yang penulis dapatkan sebagai pengalaman hidup yang berguna bagi penulis.
BERKARYA DIDALAM PENJARA TERINSPIRASI FILM IRONMAN
Jika didalam ranah dunia perfilman, jujur penulis tidak selalu mengikuti perkembangannya secara eksklusif seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya yang selalu ingin menonton film-film box office keluaran terbaru. Yang mana seakan kurang afdol rasanya kalau tidak saat itu juga mereka harus sudah harus segera menontonnya. Nah berkesebalikan dengan itu maka penulis sangat tidak antusias jika menonton film-film terbaru, jangankan menonton di bioskop menonton di Laptop saja sungguh malas rasanya. Jika patokannya adalah film Spiderman 3 pada tahun 2009 silam, maka film selanjutnya yang penulis serius dan antusias saat menontonnya hanya paling Transformer 1, 2, 3 dan Ironman 1, 2 (Saat penulis menulis buku ini sudah ada sekuel Ironman ke-3, namun penulis belum begitu antusias untuk menontonnya). Tetapi setelah penulis pikir ternyata keengganan penulis menonton berbagai film box office itu belakangan ini membuat kisah pada film Ironman 1 begitu mendalam bagi perkembangan pikiran dan motivasi penulis dalam berkarya seperti menulis buku-buku ini.
Pada sekuel pertama film Ironman diceritakan Tony Stark yang harus mendekam dipenjara di tengah padang pasir dipaksa oleh pihak musuh untuk membuat persenjataan canggih bernama ‘Yerico’ untuk pihak musuh supaya mereka dapat melancarkan aksi-aksi kejahatannya. Tetapi karena Tony tidak menginginkan membuat senjata untuk pihak musuh, maka walaupun dengan keterbatasan perlengkapan dan peralatan yang ada didalam penjara bawah tanah maka alih-alih membuat senjata mutakhir kepada pihak musuh ternyata Tony justru membuat sebuah pakaian baja bersenjata pertamanya sekaligus sumber energi penyuplai energinya yang berada didadanya, yang padahal sudah berkondisi terluka parah.
Hal tersebut bisa dikatakan sesuatu yang mustahil dilakukan karena memang perlu ketelitian tinggi dalam membuat baju baja dan sumber energi seperti itu dalam serba berketerbatasan didalam kurungan penjara bawah tanah pihak musuh. Tetapi karena kejeniusan Tony pada hal-hal yang menyangkut science dan perakitan teknologi rekayasa maka seakan tidak ada yang tidak mungkin bagi dirinya untuk menciptakan teknologi kapanpun dan dimanapun dirinya berada termasuk saat dirinya dipenjarapun ternyata mampu membuat baju baja bersenjatanya guna mampu melarikan diri dari penjagaan tentara penjara bawah tanah pihak musuh.
***
Itulah yang membuat penulis akhirnya seperti memiliki motivasi yang serupa, yaitu dengan keterbatasan waktu dan kondisi yang seakan memenjarakan penulis didalam kesatrian kampus ini membuat penulis merasa tertekan dan efeknya akan seperti tekanan gas yang padat (akibat penekanan udara pada sisi yang lain dan siap untuk membalas tekanan kearah yang berlawanan) maka tekanan yang padat tersebut penulis luapkan dengan cara menggembleng diri sendiri untuk terus belajar mengonsep dan mencari tahu dari berbagai sumber-sumber referensi-referensi lokal seperti buku-buku di Perpustakaan IPDN dan Perpustakaan Masjid IPDN selain fasilitas internet dari hubungan wireless dan modem untuk mencari berbagai informasi yang sekiranya pas untuk dipadu-padankan sehingga mampu menjadi sebuah konsep buku yang tepat.
Begitu pula dengan cara mengkonsepkan dalam hal apapun, penulis memiliki skema gambaran di otak penulis juga layaknya efek komputer-komputer dalam sekuel film Ironman, yaitu efek komputer yang terpancar dan melayang diudara sehingga Tony mampu mengoperasikannya dengan hanya menyentuh efek komputer yang melayang-layang tadi dihadapannya. Maka demikian jugalah jika penulis sedang mengonsep skema gambaran pemikiran sesuatu didalam otak penulis. Penjelasan yang susah apabila dituliskan tetapi sangat mudah jika penulis lakukan sendiri hal ini. Tetapi pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba sedikit deskripsikan apa yang penulis maksud dengan skema gambaran didalam otak penulis, barangkali bermanfaat bagi pembelajar lain yang ingin menirunya. To the point, penulis dapat mendeskripsikannya sebagai berikut:
Jika penulis telah memasukkan input berupa ilmu pengetahuan atau wawasan tertentu seakan penulis memberinya label pada file ilmu tersebut (yang penulis lakukan itu didalam imajinasi otak penulis saja), kemudian file tersebut dimasukkan kedalam filebox/folder-nya tersendiri (folder sesuai dengan labelnya masing-masing). Dan manakala suatu hari penulis sedang ingin mengonsepkannya maka seperti halnya efek pada komputer yang melayang (efek komputer seperti pada film Ironman), penulis tinggal mencari folder ini dan itu didalam otak. Lalu dari banyak file tadi penulis berusaha memadukannya secara satu-persatu. Hingga sampai disaat telah tercipta suatu konsep yang padu, penulis mencoba untuk meng-compress-nya (memperkecil besaran bobot file), karena ilmu tersebut seakan masih berada dialam yang masih belum penulis mengerti sepenuhnya (penulis belum mengerti bagaimana mengartikannya) sehingga penulis yang pada fase-fase awal ini hanya mengambil teori mudahnya saja. Lalu dengan itulah penulis menulis isi buku-buku berjenis how-to pada kategori ilmiah populer.
Walaupun setiap orang pasti memiliki imajinasinya sendiri tetapi sedikitnya pengalaman penulis diatas dapat membantu proses imajinasi para pembaca jika memang ingin menirukannya.
Hubungannya kisah diatas dengan judul bab ini adalah ketika menulis buku The Art of Meeting, penulis sembari menulis buku tersebut penulis juga saat itu sedang merevisi buku Leader University. Sehingga guna menjawab pertanyaan bagaimana cara memanajerial kedua tema tersebut (antara tema kepemimpinan dan tema penyelenggaraan rapat) didalam otak secara sekaligus adalah dengan menggunakan teknik skema gambaran seperti halnya penulis sampaikan diatas. Belum lagi jika mencampurkan berbagai tugas dan pekerjaan lain yang menambah-nambah beban pikiran penulis, maka dari itu harus dilakukan sebuah cara untuk bisa dimemanajemen didalam otak penulis dan alhamdulillah dengan latihan yang intensif penulis bisa mudah melakukannya.
DOUBLE LEBIH BERASA SENSASINYA KETIMBANG SINGLE
Coba bayangkan lebih enak makan kebab itu hanya satu saja atau dua yaitu jika semisal masih bisa ditambah menjadi dua? Tentu akan menjadi lebih terasa sensasinya apabila kita makan dua porsi kebab sekaligus bukan? Begitu pula pemikiran penulis saat itu untuk memutuskan bagaimana untuk meluncurkan buku Leader University secara sensasional dan supaya orang-orang dan pembaca lebih dapat mengatakan “Wow” ketimbang hanya mengatakan “Wew” terhadap peluncuran buku ini. Maka penulis putuskan saat itu juga untuk meluncurkan buku Leader University sekaligus dengan buku The Art of Meeting ini secara bersamaan pada tanggal 2 Maret 2013.
Saat itu penulis sungguh membuat sensasi diinternal Civitas Akademika IPDN, yang mana diantara sensasi tersebut adalah sebagai berikut:
- Praja IPDN pertama yang membuat buku, karena kebanyakan dari kalangan Ikatan Keluarga Alumni Perguruan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK) yang juga membuat buku hanya setelah dirinya menjadi purna praja (telah lulus).
- Meluncurkan dua buku sekaligus
- Buku paling tebal dan besar, yaitu buku Leader University setebal 390-an halaman dan berukuran 23,5 x 15,5 cm (Buku-buku sebesar ini mirip buku 7 habbit karangannya Stephen Covey dan ESQ karya Ary Ginanjar).
- Buku yang menjadikan foto orang yang belum sukses sebagai cover depan, yaitu foto penulis pribadi (karena biasanya buku yang menampilkan wajahnya di cover depan hanya untuk para tokoh-tokoh besar).
- Buku yang diterbitkan atas nama penerbitan sendiri/tidak bergantung pada penerbitan yang sudah ada.
- Buku yang telah dicetak saat peluncuran masing-masing sebanyak 1000 eksemplar, yang menunjukkan seakan penulis benar-benar percaya diri buku-buku tersebut akan banyak diserap oleh kalangan civitas IPDN publik walaupun hanya sekedar self-publishing.
- Mengisi seminar dengan durasi berbicara tunggal terpanjang yang belum pernah ada praja lain yang melakukan hal tersebut sebelumnya yaitu total 4 jam hitungan kotor penulis berada didepan panggung sebagai pembicara.
Jadi dengan beragam sensasi seperti diatas wajar saja penulis dengan kedua buku ini mampu menggemparkan seluruh civitas IPDN kala itu. Satu saja mungkin sudah gempar maka kenapa tidak sekalian dua untuk membuat kegemparan yang lebih bersensasi?
Berikut ini beberapa akademisi kondang yang mengakui kompetensi kepenulisan yang ada pada penulis setelah terbitnya kedua buku diatas (nama berikut belum termasuk keseluruhan dosen dan praktisi lain):
- Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS; Beliau adalah guru kepenulisan dan keilmuan paling awal penulis, saat itu beliau juga menjabat sebagai Wakil Rektor IPDN, bahkan dalam beberapa kesempatan hubungan komunikasi antara kami bukan lagi seperti seorang pengajar terhadap anak didiknya secara umum melainkan terjalin hubungan diskusi akademis yang setara antara penulis dan beliau (kendati penulis sarjana saja belum ada namun beliau adalah guru besar Indonesia kenamaan dunia).
- Prof. Dr. Drs. I Nyoman Sumaryadi, M.Si; Beliau saat itu menjabat sebagai Rektor IPDN dan pernah memberikan penghargaan secara langsung kepada penulis pada saat Upacara Bendera hari Senin tanggal 27 Mei 2013.
- Prof. Dr. Wirman Syafri, M.Si; Beliau saat itu menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Akademis IPDN dan melalui percakapan bersama beliaulah timbullah keinginan penulis memasuki jalur fungsional dosen(*) (beliau yang pertama kali menawarkan penulis agar menjadi dosen di IPDN).
- Prof. Dr. Murtir Jeddawi, M.Si; Beliau saat itu menjabat sebagai Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan IPDN, beliau yang juga menawarkan penulis menjadi dosen di IPDN(*) serta pada sebuah kesempatan penulis pernah berdiskusi bersama beliau perihal bagaimana sebaiknya mengkaitkan perihal pemerintahan dengan ajaran agama, hal itu yang membimbing penulis menulis buku birokrat dan buku ini.
- Dr. Hasim A. Abdullah, MM; Beliau adalah termasuk salah satu dari penguji akreditasi dari Badan Akreditas Nasional yang pada bulan Juni 2013 gilirannya mengakreditasi Kampus IPDN, kala itu saat beliau telah mengetahui kedua buku penulis dalam sebuah wawancara beliau meminta kesediaannya suatu saat setelah lulus pendidikan untuk menjadi pembicara dikalangannya.
*) Menjadi dosen adalah cita-cita jangka panjang penulis, untuk sementara penulis berharap mengambil banyak pengalaman didunia praktisi di birokrasi pemerintahan terlebih dahulu.
RAHASIA YANG TERUNGKAP: TERNYATA MENERBITKAN BUKU LEBIH SUSAH DARI MENULIS BUKU
Kebanyakan orang enggan menulis karena faktor dirinya tidak pernah percaya diri bahwa dirinya mampu menulis, padahal sekiranya ada kemauan sungguh-sungguh untuk berusaha dan juga berdoa maka disitu jugalah akan ada jalan solusinya. Jika didasarkan kisah penulis, maka sesungguhnya penulispun tadinya tidak memiliki bakat menulis sama sekali serta termasuk tidak ada darah keturunan seorang penulis sama sekali (ayah adalah TNI-AD, ibu adalah ibu rumah tangga, ketiga kakak adalah karyawan swasta, kakek dari ayah adalah carik desa, kakek dari ibu adalah ABRI), pada masa kecil penulis memang sering berusaha menggambar kartun untuk rencana membuat sebuah komik namun selalu tidak kesampaian.
Walaupun butuh satu bulan penuh untuk belajar menulis secara otodidak tetapi nyatanya penulis kini mampu mempelajari teknik-teknik menulis efektif dan efisien hingga akhirnya alhamdulillah telah menerbitkan empat buku selama masa pendidikannya.
Adapun pembelajaran baru yang penulis dapatkan disaat telah selesai mencetak dua buku adalah ternyata perihal menerbitkan buku jauh lebih susah daripada sekedar hanya menuliskannya. Karena jika menulis buku itu hanya antar dua dimensi yaitu hanya terjadi pada interaksi antara penulis dan buku yang diketiknya sedangkan jika menerbitkan buku maka interaksi yang terjadi akan berlangsung secara multi dimensi yaitu antara penulis, buku yang ditulis, peran dari media massa serta publik dari berbagai kalangan. Pada tingkat kompleksitas seperti itulah mengapa menerbitan buku nyatanya lebih susah daripada sekedar menuliskan bukunya saja.
Oleh karena faktor itulah seseorang yang hendak menulis buku ternyata harus memperhatikan faktor penjualan bukunya sedari awal berniat untuk menulis. Itu adalah hal yang baru penulis sadari sepenuhnya ketika buku pertama dan kedua penulis telah tercetak masing-masing sebanyak 1000 eksemplar, tetapi penulis sungguh memiliki takdir yang beruntung manakala penulis memperhatikan isi tulisan pada kedua buku tersebut ternyata memenuhi segi pemasaran penjualannya (keniscayaan bagi saya keberuntungan itu datang karena didalam kedua buku tersebut terdapat aroma ilmu dari khazanah keislaman yang saya hadirkan sebagai pelengkap isi bukunya).
Selebihnya ini akan menjadi pengalaman berharga khususnya bagi penulis pada kepenulisan buku-buku penulis selanjutnya, dan secara umumnya untuk para pembaca yang jika kelak juga hendak menulis buku, karena tidak etis kiranya jika seseorang jatuh pada lubang yang sama berkali-kali, yang mana jika itu terjadi maka dirinya akan sama halnya seperti keledai nan bodoh yang selalu jatuh pada lubang yang sama.
INGIN KARIR MENJADI DOSEN? MULAI BERAKSI DARI SEBELUM LULUS PENDIDIKAN S1-MU
Pengalaman penulis yang telah direkrut menjadi kader tenaga pengajar dikampus penulis padahal status penulis saat itu masih menjadi salah seorang peserta didik tingkat empat ini berusaha penulis sampaikan pada buku ini berharap pembaca ada juga yang berminat mengikutinya.
Tepatnya Prof. Dr. Wirman Syafri, M.Si selaku Pembantu Rektor IPDN bidang akademik dan Guru Besar Administrasi Publik yang pertama menyatakan sebisa mungkin penulis untuk mengambil jalur fungsional dosen dan kelak juga mengajar di IPDN. Nada serupapun terlontar dari Prof. Dr. Murtir Jeddawi, M.Si selaku Pembantu Rektor IPDN bidang kemahasiswaan yang menyatakan kalau bisa penulis mengambil pekerjaan menjadi dosen IPDN saja setelah lulus. Mengapa sampai ada dua guru besar yang mengajak penulis menjadi dosen dan apa kelebihannya menjadi dosen akan penulis jabarkan panjang lebar seperti dibawah ini.
Pertama akan penulis jelaskan apa kelebihan dari menjadi dosen ang penulis sadur dari hasil obrolan dengan Pak Wirman kala itu (dengan beberapa tambahan dari penulis yang intinya tetap sama), siapa tahu ada pembaca yang tadinya tidak berminat menjadi berminat dengan jalur fungsional ini:
Jika Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) berlaku sepenuhnya, maka akan banyak PNS yang beralih status dari jabatan struktural ke jabatan fungsional (baca: jafung) karena jabatan struktural semakin sedikit kuotanya dan sebaliknya jafung justru semakin banyak kuotanya. Menjadi sebuah keuntungan manakala menjadi dosen, karena dosen dituntut keahlian mengajar dan membuat karya tulis ilmiah yang tidak ada di-jafung lain. Sehingga didalam kebijakan ASN posisi dosen tidak akan mengalami perubahan signifikan bahkan justru diuntungkan oleh kebijakan tersebut.
Jika kelak seorang dosen bisa menjadi seorang guru besar maka tunjangannya sampai dengan 4 kali lipat dari gaji pokoknya. Maka jika gaji pokok sekitar 5,5 juta rupiah maka total pendapatan selama sebulan bisa lebih dari 22 juta rupiah perbulannya.
Jafung adalah tergantung kualitas diri sendiri, dan tidak akan mampu digoyahkan oleh arus politik sedangkan pada jabatan struktural maka seperti banyak diketahui oleh publik yakni kerap tergoyahkan posisinya oleh arus politik yang berkuasa pada masa-masa tertentu. Sehingga orang-orang yang berada pada jafung tergantung pada seberapa rajin dirinya mampu berkarya dan berkreasi di ranah akademisi.
Dari keunggulan berkarir menjadi jafung dosen itulah membuat penulis bisa merumuskan tips yang sekiranya mampu membuat seorang mahasiswa lebih mudah supaya ditarik menjadi kader dosen saat masih menjadi mahasiswa adalah sebagai berikut:
1. Tulislah buku karya ilmiahmu sendiri
Percaya tidak percaya, sekarang ini terdapat fenomena oknum pengajar yang hanya sekedar ingin mengajar tanpa menulis karya ilmiah seperti makalah, jurnal bahkan buku. Hal itu tentu tidak salah dilakukan oleh oknum pengajar tetapi juga tidak dapat dibenarkan, karena didalam pemahaman beberapa oknum pengajar membuat karya tulis ilmiah memang hanya digunakan untuk menambah credit point yang berguna untuk naik jabatan fungsional-nya dan juga disertai dengan naiknya tunjangan mengajarnya, selebihnya oknum pengajar itu jarang memahami bahwa hadirnya karya tulis ilmiah itu lebih berharga daripada hanya sekedar credit point dan tunjangan yaitu mampu menghasilkan amal jariyah seumur ilmu dalam karya tulis ilmiahnya masih selalu dipergunakan oleh penerusnya sampai akhir zaman sekalipun untuk menciptakan sebuah kemashlahatan.
Maka inilah peluang yang setidaknya mampu dimaksimalkan bagi mahasiswa yang hendak memilih jafung dosen menjadi jalan karirnya, yaitu menciptakan karya tulis ilmiahnya sendiri, walaupun dengan bahasa populer (bahasa sehari-hari) sekalipun hal tersebut sudah sangat luar biasa bagi seorang mahasiswa. Serta yang menjadi sebuah keniscayaan adalah walaupun mahasiswa ini tidak memiliki nilai IPK pengajaran yang tinggi sekalipun, namun kehadirannya akan lebih mendapatkan nilai lebih dari banyak akademisi guru besar dan para dosen yang lebih tinggi ketimbang mahasiswa yang memiliki nilai IPK pengajaran tinggi namun sama sekali tidak memiliki karya tulis ilmiahnya hingga sebelum masa wisudanya.
2. Be active dan bergaul dengan dosen
Dosenpun sesesungguhnya juga manusia biasa yang terkadang butuh inspirasi dan motivasi yang berasal dari umpan balik dari anak didiknya. Ibarat anak dengan orang tua kandungnya maka jika anak didiknya sukses maka sesungguhnyapun dosen merasa telah sukses sebagai tenaga pendidik anak tersebut.
Hanya persoalannya sekarang adalah dosen seringkali dianggap mahasiswa sebagai sosok yang jauh dari mereka, sehingga ada anggapan “dosen ya dosen saja” (dalam artian dosen adalah sebuah pekerjaan) serta “mahasiswa ya mahasiswa saja” (dalam artian menjadi mahasiswa adalah persyaratan mendapatkan gelar sarjana).
Pada peluang itulah seseorang mahasiswa yang ingin mengembangkan karir sebagai tenaga pengajar maka dituntut sebuah usaha menjadi jembatan antara dosen dan mahasiswa agar keduanya tidak terjadi anggapan saling jauh satu sama lainnya. Dalam hal ini bisa saja dirinya menjadi asisten dosen (asdos) saat masa perkuliahan, tetapi dalam konteks ini dapat dikatakan dirinya bukan hanya sekedar menjadi Asdos (yang sifatnya lebih karena faktor kesamaan pekerjaan) melainkan lebih dekat dalam hubungan interaksi humaniora-nya (kemanusiaan).
3. Menjadi Asisten Dosen saat mahasiswa (Asdos)
Walaupun secara khusus di kampus IPDN tidak ada Praja-nya yang menjadi Asdos, tetapi berdasarkan pengalaman orang lain yang diceritakan pada penulis maka sedikit banyak penulis mampu memahami fungsi dari mahasiswa Asdos ini. Tetapi sayangnya mahasiswa Asdos merupakan hal yang terlampau klasik bagi seorang dosen dan petinggi-petinggi perguruan tinggi untuk melirik mahasiswa tersebut, namun jika dalam lingkup kecil maka kehadiran mahasiswa Asdos tetap akan dilirik. Hal itu dikarenakan menjadi mahasiswa Asdos hanya sebagai pelengkap dari pekerjaan dosen yang menjadikannya asisten, selebihnya kurang-lebih tidaklah menjadi apa-apa. Maka dari itu jikalah tetap ingin menjadi mahasiswa Asdos maka selain menjadi Asdos buatlah juga karya tulis ilmiahmu sehingga namamu kelak bisa juga menyaingi dosenmu. Terkhusus bagaimana cara menulis karya tulis ilmiah pada catatan selanjutnya dalam buku ini insya Allah akan penulis paparkan tipsnya.
***KAMU TENTU PUNYA CATATAN SENDIRI***
Buku The Art Of Meeting Dari Berbagai Keluh Kesah (Catatan 2, 14 Minggu Sebelum Pengukuhan)
Reviewed by Santana Primaraya
on
6:36:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment