Birokrat Sukses Mengapa Tidak? Kata Pengantar Jose Rizal untuk Buku Birokrat Berkarakter Sukses di Era Konseptual
Semasa pertama kali menjejakkan kaki, tugas sebagai pamong praja, di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat pada 1999, saya bergegas menggali ilmu ke sejumlah senior yang telah lebih dahulu makan asam garamnya mengabdi di lapangan. Ada senior yang sudah menjabat lurah, camat, kabag UP (Urusan Pegawai), kepala dinas hingga asisten. Seluk-beluk pekerjaan, mereka ajarkan dengan penuh perhatian, seperti kakak yang mengajari adiknya main sepeda.
Dari sejumlah penggalian ilmu tersebut, saya berasumsi bahwa kesuksesan seorang birokrat di lapangan adalah ketika karirnya cepat meningkat. Saya terkagum-kagum dengan birokrat yang paling cepat duduk di kursi camat dibandingkan rekan seangkatannya yang masih di level Kepala Seksi atau Kepala Sub Bagian. Saya juga salut dengan seorang kawan satu letting dengan saya yang telah memperoleh jabatan eselon III yaitu menjabat camat di satu daerah, sementara saya justru memperoleh jabatan non eselon, yakni ditunjuk menjadi Sekretaris Pribadi Walikota Sawahlunto sepulang menamatkan S-2 tahun 2003.
Tapi waktu berjalan dan asumsi saya tentang suksesnya birokrat, yakni yang karirnya melejit-lejit, itu langsung terkikis habis manakala kedua camat yang saya kagumi tersebut tersandung kasus pidana. Meski berlainan tempat penugasan, kedua camat itu harus menjalani masa tahanan, hidup di balik dinginnya jeruji besi selama setahun lebih. Meskipun saya (hingga detik ini) tetap yakin bahwa mereka hanya menjadi tumbal dari kusut marutnya dunia hukum dan birokrasi kita, namun dengan bukti tragedi itu, persoalan karir meningkat secara cepat yang menjadi ukuran kesuksesan seorang birokrat, langsung saya hapus dalam kamus saya.
Pasca hadirnya UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setidaknya telah mengambil andil besar terhadap perubahan politik di daerah. Bila sebelumnya kepala daerah dipilih oleh DPRD, sekarang rakyatlah yang langsung memilih kepala daerah. Jadilah, kepala daerah yang notabene merupakan pembina karir PNS tertinggi di daerah, dapat berasal dari pintu mana saja. Tokoh parpol, alim ulama, artis maupun pengusaha yang awam dunia birokrasi sekalipun, asalkan memiliki ketenaran dan uang berlimpah serta kemudian memenangkan Pilkada, maka berhak dan berwenang mengotak-atik sistem birokrasi. Hal itu memunculkan beraneka-ragam jabatan-jabatan yang dijabat oleh pejabat dengan latar belakang ilmu/ pengalaman kerja yang justru berkejauhan dengan tugas jabatan yang diembannya, hal itu terjadi hanya karena sebelumnya mereka ikut menjadi tim sukses dari kepala daerah terpilih.
Sebaliknya, bagi birokrat yang mendukung kandidat kepala daerah lain (yang kalah) atau bersikap netral, akan dilengserkan dari jabatannya alias non-job. Pangkat, ilmu dan jam terbang yang tinggi tidak jadi pertimbangan sama sekali. Di Maluku, saya juga dengar kabar, bahwa teman saya terpaksa di-non-job-kan dari jabatan kepala dinas hanya karena dirinya bertetangga rumah dengan seorang kandidat yang kalah. Di Jawa Tengah, rekan saya yang bersikap idealis, tak ikut mendukung salah satu kandidat manapun, ia memilih netral, namun toh akhirnya sudah dua tahun ini dia berada di status diamankan, alias non-job. Dan banyak lagi perasaian para birokrat di lapangan yang sesungguhnya berpotensi, namun terpaksa di-rem mendadak hanya karena soal politik.
Alhasil, sejumlah jenjang yang mesti ditempuh birokrat dalam meniti karir dikangkangi. DP3 sekedar daftar nilai yang dapat diisi sekehendak hati. Tim Baperjakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Reward and punishment yang tak abstrak. Pada intinya, karir dan kedudukan PNS tak lagi mengacu pada aturan, tapi terlebih karena dekat-jauh hubungan kekerabatan atau like and dislike, atau setor-tidak setornya bawahan pada kepala daerah tersebut.
Dengan situasi seperti itu, maka perlahan tapi pasti, tumbuh karakter baru dalam tubuh birokrat, seperti: fitnah, menjilat, jelek-menjelekan satu sama lainnya, budaya menjual-membeli jabatan, politisasi birokrasi, hingga ketakutan yang berlebihan akan kehilangan jabatan terus menghantui dunia birokrasi terutama di daerah.
Tentu tidak semua birokrat yang terjangkit virus “gila jabatan” tersebut, masih banyak birokrat yang dengan tulus terus menjunjung tinggi Sapta Prasetya KORPRI dalam pengabdiannya. Bahkan baru-baru ini, saya menemui seorang senior di Kota Serang, Banten, dimana beliau bercerita bahwa dengan pangkatnya yang pantas, pengalaman kerja yang cukup, dirinya ditawari duduk di eselon II, setingkat lebih tinggi dari posisinya sekarang. Tetapi yang membuat saya heran adalah, ia mengaku menolak tawaran itu dengan alasan masih ada pejabat lain yang lebih senior dan berpengalaman dari dirinya. Saya cuma bisa geleng-geleng salut dengan prinsipnya itu, bahwa ternyata masih ada orang waras di tengah gilanya dunia birokrasi.
Dalam kemelut birokrasi ini, “orang-orang waras” sesunguhnya dapat lebih tumbuh subur bilamana pembina karir tertinggi PNS ini juga “orang waras”. Karakter birokrat yang sebenarnya “siap melaksanakan perintah atasannya” ini tentu akan berujung sukses bilamana kepala daerahnya juga adalah orang yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Sekarang, di sejumlah daerah dan instansi kita merasakan kesejukan angin perbaikan birokrasi ini. Maraknya kesadaran bahwa mewujudkan kesejahteraan masyarakat itu dimulai dari mereformasi birokrasinya. Aturan-aturan yang cenderung berdampak negatif terhadap pola pembinaan karir PNS, oleh pemerintah terus disempurnakan. Harapan kita bersama, demi meningkatkan kualitas dan profesionalisme birokrat, maka Undang-undang Aparatur Sipil Negara dapat dirampungkan lebih cepat oleh para politisi di Senayan.
Sejumlah Menteri/Wakil Menteri seperti Dahlan Iskan, Gamawan Fauzi dan Eko Prasodjo memberikan contoh dan “menerobos” aturan bagaimana semestinya para birokrat itu mengabdi. Sejumlah Kepala daerah juga tak ketinggalan, mengadakan tender jabatan yang transparan dan tidak KKN, menerima CPNS dengan melibatkan KPK, memberikan reward and punishment yang jelas dan terukur demi meningkatkan motivasi kerja para birokrat, hingga blusukan, langsung terjun ke lapangan seperti yang dilakukan Gubernur DKI, Jokowi, Walikota Bandung, Ridwan Kamil, dan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, serta banyak lagi kepala daerah yang tak sempat disebutkan yang mengelola birokratnya dengan tepat dan benar.
Mengukur derajat kesuksesan seorang birokrat, walaupun dengan sistim yang sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik dari sang kepala daerah, adalah suatu keniscayaan. Ada banyak sisi karakteristik seorang birokrat yang bila terus dipertahankan akan membuahkan kesuksesan. Seorang birokrat sudah selayaknya membuang jauh topeng kemunafikan, namun terus mengisi kekosongan dalam dirinya dengan nilai-nilai agama, pendidikan, kepedulian sosial dan profesionalisme.
Dalam bukunya “Birokrat Berkarakter Sukses di Era Konseptual – 17 Hari Membentuk Karakter Sukses Birokrat”, M. Arafat Imam G, selaku penulisnya, bertutur dengan gayanya yang mengalir, ringan dan memotivasi. Arafat berhasil menyentil dan menggelorakan kembali cara-cara sukses bagi birokrat, dengan tetap mengedepankan idealime abdi negara, abdi masyarakat yang tak perlu terbawa arus. Meski penulis belum lama mengecap aneka jabatan di lapangan, namun dengan observasi penulis ke sejumlah birokrat lain yang telah banyak pengalamannya, maka buku ini juga tak sekedar buku yang memuat wacana, namun juga sekaligus merupakan buku praktikum, khususnya bagi para birokrat yang ingin sukses.
***
*Jose Rizal, adalah alumnus STPDN, penulis novel Sang Abdi Praja (penerbit Gramedia), pernah mengikuti Pilkada Kota Pariaman tahun 2013 berpasangan dengan Indra J Piliang. Jose saat ini berkarir di Pemerintah Kota Padang.
Birokrat Sukses Mengapa Tidak? Kata Pengantar Jose Rizal untuk Buku Birokrat Berkarakter Sukses di Era Konseptual
Reviewed by Santana Primaraya
on
2:59:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment